Monday, June 20, 2011

Gelatin 2


Gelatin
Gelatin merupakan protein serat yang diperoleh dari ekstraksi kolagen dan merupakan biopolimer penting yang memiliki aplikasi luas dalam bidang industri, seperti makanan, farmasi, dan fotografi (Rahman, 2008). Menurut Ward (1997), massa molekul gelatin sekitar 90.000 gram/mol. Sedangkan menurut Pouradier (1950), massa molekul gelatin berkisar 15.000-250.000. Gelatin larut dalam air, asam asetat dan pelarut alkohol seperti gliserol, propilen glikol, sorbitol dan mantiol.
Namun, gelatin tidak larut dalam alkohol, aseton, karbon tetraklorida, benzen, petroleum eter dan larutan organik lainnya (Viro, 1992). Menurut Ross-Murphy (1991), gelatin akan melarut dalam air pada temperatur 400C. Suhu minimum proses ekstraksi adalah 40 -500C (Grossman, 1991) hingga suhu 1000C (Viro, 1992). Selain itu, gelatin memiliki sifat dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, dapat membentuk film, membengkak dalam air dingin, dan mempengaruhi viskositas bahan (Parker, 1982).
Susunan asam amino gelatin hampir mirip dengan kolagen, dimana glisin sebagai asam amino utama dan terdapat di setiap 3 residu protein. Sedangkan, asam amino yang tersisa sebagian besar adalah prolin dan hidroksiprolin (Charley, 1982). Struktur tipikal gelatin adalah – Ala – Gly – Pro – Arg – Gly – Glu - 4Hyp - Gly- Pro-. Gambar 2.4 menunjukkan susunan asam amino gelatin.
Menurut Norziah (2009), tipe sumber gelatin yang berbeda memiliki jumlah asam amino prolin dan hidroksiprolin yang berbeda pula dimana mempengaruhi temperatur leleh pada gelatin. Gelatin dengan kandungan prolin dan hidroksiprolin lebih rendah, temperatur lelehnya lebih rendah (Haug, 2004). Sifat -
sifat fisika kimia tersebut tergantung pada spesies dan jaringan asal ekstraksi, serta metode ekstraksi yang dipilih (Gilsenan, 2000).
Jaringan yang biasa digunakan untuk memperoleh gelatin adalah tulang sapi, kulit sapi, dan kulit babi (Sobral, 2001). Selain itu, kulit ikan dapat menjadi alternatif untuk sumber gelatin. Gelatin ikan dibedakan sifat termalnya antara spesies ikan yang hidup di air hangat dengan yang hidup di air dingin, dimana ikan air hangat memiliki sifat termal gelatin lebih baik dari pada ikan air dingin dikarenakan jumlah asam imino prolin dan hidroksiprolinnya yang lebih banyak (Ward, 1977). Selanjutnya
berdasar metode ekstraksi yang digunakan, gelatin dibedakan menjadi tipe A dan tipe B. Bahan baku pada gelatin tipe A diberi perlakuan perendaman dalam larutan asam, sehingga proses ini dikenal dengan sebutan proses asam. Sedangkan pada gelatin tipe B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perlakuan basa. Proses ini disebut juga dengan proses alkali (Utama, 1997). Berdasar review yang ditulis oleh Karim dan Rajeev Bhat (2008), proses asam lebih sesuai untuk ekstraksi gelatin ikan. Proses ini dilihat secara
ekonomis memang lebih disukai, karena perendaman yang dilakukan membutuhkan waktu relatif lebih singkat dibandingkan proses basa (Sopian, 2002). Gambar 2.5 Serbuk Gelatin

Perkembangan Gelatin
Gelatin pada dasarnya telah dikenal sejak manusia mulai memasak daging. Sekitar 8000 tahun yang lalu, penduduk gua pada abad pertengahan telah memproduksi lem dari jaringan hewan, dan sekitar 3000 tahun yang lalu bangsa Mesir kuno telah menggunakan lem yang berasal dari kolagen untuk merekatkan
peralatan kayu mereka. Selain sebagai lem, gelatin juga digunakan sebagai sumber protein oleh bangsa Perancis di jaman perang untuk menggantikan daging yang sangat langka pada saat itu. Bidang kesehatan juga mengenal gelatin, yaitu sekitar tahun 1150 Hildegard memberikan konstribusinya pada masyarakat
tentang pengonsumsian kaldu dari kaki sapi dengan cukup atau rutin sangat baik untuk penyakit pada tulang sendi. Gelatin juga sangat diperlukan dalam dunia farmasi dan fotografi modern saat
ini (Schrieber, 2007).
Produksi gelatin dunia saat ini mendekati angka 326.000 ton per tahun, dimana 46%gelatin dari kulit babi, 29,4% dari kulit sapi, 23,1% dari tulang sapi, dan 1,5% dari sumber lain (Karim, 2009). Namun, gelatin dari babi tidak dapat diterima masyarakat muslim dan Yahudi. Sedangkan, gelatin dari sapi tidak dapat diterima oleh masyarakat Hindu dan terdapat pula kekhawatiran akan kontaminasi Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) dalam gelatin sapi meski telah terdapat pernyataan dari Scientific
Steering Committeee of the European Union bahwa resiko tersebut ialah mendekati nol (Schrieber, 2007). Saat ini, gelatin ikan adalah alternatif terbaik untuk gelatin dari mamalia dan
masih terus dikembangkan (Arnesen, 2006).
Kebutuhan gelatin di Indonesia terus meningkat, namun belum banyak direspon oleh industri dalam negeri untuk memproduksinya secara komersial. Sehingga, Indonesia masih harus mengimpor gelatin dari berbagai negara untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Negara Indonesia mengimpor lebih dari 6.200
ton gelatin (tahun 2003) atau senilai US$ 6.962.237 dari berbagai negara (Perancis, Jepang, India, Brazil, Jerman, Cina, Argentina, dan Australia) (Wahyuni, 2009).
Kandungan Gelatin
Gelatin terdiri dari kurang lebih 90% protein dan mengandung seluruh asam amino esensial yang dibutuhkan oleh tubuh kecuali triptofan. Gelatin tipe I tidak mengandung sistein. Konsentrasi asam amino glisin dan prolin pada gelatin adalah 10 hingga 20 kali lipat dari protein lain. Gelatin juga mengandung
hidroksiprolin yang berasal dari konversi parsial prolin selama sintesis kolagen (Scrieber, 2007).
Komposisi asam amino berbeda-beda pada sumber gelatin yang berlainan. Tabel berikut ini menunjukkan komposisi asamasam amino beberapa gelatin dari jenis ikan perairan dingin (cod, pollock alaska, hake) dan perairan hangat (megrim dan tilapia) yang dibandingkan dengan gelatin mamalia (babi) (Karim, 2009).

Pembuatan Gelatin
Pada prinsipnya proses produksi gelatin dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu proses asam dan proses basa. Keduanya dibedakan dari proses perendamannya. Tipe produk akhirnya ada dua, yaitu tipe A dan tipe B. Pembuatan gelatin tipe A, yaitu bahan baku diberi perlakuan perendaman dalam larutan
asam. Sedangkan untuk menghasilkan gelatin B, perlakuan yang diaplikasikan adalah perendaman dalam air kapur. Proses ini disebut dengan proses alkali (Utama, 1997). penghilangan komponen non kolagen dari bahan baku denganMatau tanpa pengurangan ikatan antara komponen kolagen. Kedua,
konversi kolagen menjadi gelatin. Ketiga, pemurnian sertaMperolehan gelatin dalam bentuk kering.
Tahap persiapan dilakukan dengan pencucian kulit dariMMsisa-sisa daging, sisik dan lapisan luar yang mengandung lemak.MPemanasan dengan air mendidih selama 1-2 menit dilakukan
untuk memudahkan penghilangan lemak (Pelu, 1998).MSelanjutnya pada kulit dilakukan tahap penggembungan (swelling) yang berguna untuk menghilangkan kotoran-kotoran dan mengkonversi kolagen menjadi gelatin (Surono, 1994). Tahap perendaman ini dapat dilakukan menggunakan larutan asam organik seperti asam asetat, sitrat, fumarat, askorbat, malat, suksinat, tartarat dan asam lainnya yang aman. Sedangkan asam anorganik yang bisa digunakan adalah asam hidroklorat, fosfat dan sulfat. Jenis larutan alkali yang umum digunakan adalah sodium karbonat, sodium hidroksida, potasium karbonat dan
potasium hidroksida (Grossman, 1991).
Menurut Ward dan Court (1977), asam mampu mengubah serat tripel helik menjadi serat tunggal, sedangkan larutan perendaman basa hanya mampu menghasilkan rantai ganda. Hal ini menyebabkan pada waktu yang sama jumlah kolagen yang dihidrolisis oleh larutan asam lebih banyak daripada larutan basa.
Oleh karena itu, perendaman dalam larutan basa membutuhkan waktu yang lebih lama untuk menghidrolisis kolagen. Menurut Utama (1997), tahapan ini harus dilakukan dengan tepat (waktu
dan konsentrasinya) agar tidak terjadi kelarutan kolagen dalam larutan atau hilang bersama air saat dilakukan netralisasi sebelum ekstrasi, sehingga terjadi penurunan rendemen gelatin yang
dihasilkan. Selanjutnya kulit diekstraksi dengan air yang dipanaskan dengan tujuan mengkonversi kolagen menjadi gelatin. Suhu minimum proses ekstraksi adalah 40 - 500C (Grossman, 1991) hingga suhu 1000C (Viro, 1992). Hasil ekstraksi kemudian dimasukkan dalam lemari pendingin untuk memadatkan larutan gelatin, kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 40-500C (Grossman, 1991) atau 60 – 700C (Pelu, 1998). Pengecilan ukuran lalu dilakukan untuk memperluas permukaan bahan sehingga
gelatin yang dihasilkan menjadi lebih reaktif dan lebih mudah digunakan (Utama, 1997).

No comments:

Post a Comment